Pempek, atau terkadang disebut empek-empek, adalah salah satu warisan kuliner paling ikonik dari Kota Palembang, Sumatera Selatan. Lebih dari sekadar hidangan ikan yang disajikan dengan kuah cuka yang khas, pempek menyimpan sejarah panjang yang berakar kuat pada budaya dan kehidupan masyarakat di tepian Sungai Musi.
Sejarah pempek memiliki beberapa versi, namun secara umum, kuliner ini telah ada sejak masa lampau dan erat kaitannya dengan dua elemen utama: sagu dan ikan, serta pengaruh budaya Tionghoa.
Sebelum dikenal sebagai pempek, hidangan olahan ikan dan sagu ini disebut kelesan. Nama "kelesan" berasal dari cara pembuatannya yang di-keles atau ditekan-tekan saat membentuk adonan. Kelesan diketahui sudah populer sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam.
Beberapa sumber bahkan menduga pempek telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7 Masehi), didasarkan pada temuan di Prasasti Talangtuo yang menyebutkan adanya tanaman sagu di Palembang sejak abad tersebut. Suku Kayu Agung atau Komering Kayu Agung disebut-sebut sebagai masyarakat awal yang mengkreasikan sagu dengan ikan hasil tangkapan saat berlayar, yang awalnya bertujuan sebagai bekal berdagang yang tahan lama.
Perubahan nama dari kelesan menjadi pempek diperkirakan terjadi sekitar tahun 1920-an. Hal ini terkait erat dengan peran pedagang etnis Tionghoa yang menjajakan makanan ini.
Konon, seorang apek (panggilan untuk laki-laki tua Tionghoa) di Palembang merasa prihatin melihat melimpahnya ikan di Sungai Musi yang tidak diolah secara maksimal. Ia kemudian berinisiatif mencampur gilingan daging ikan dengan sagu, membentuk makanan baru yang kemudian ia jual keliling kota menggunakan sepeda.
Saat pembeli ingin memanggil penjual kelesan tersebut, mereka sering memanggil dengan sebutan "Pek, empek, mampir sini!" atau "Pek!" yang merupakan panggilan akrab kepada si apek atau empek (paman dalam bahasa Tionghoa). Dari panggilan inilah, nama Pempek mulai dikenal luas dan bertahan hingga sekarang.
Pada masa awal, ikan yang digunakan untuk membuat pempek adalah ikan belida, yang dikenal memiliki cita rasa gurih yang khas. Namun, seiring waktu, ikan belida menjadi semakin langka dan mahal. Untuk menyiasatinya, para pembuat pempek mulai mengganti bahan baku ikan dengan jenis lain seperti ikan tenggiri, gabus, atau kakap yang lebih mudah didapatkan, tanpa menghilangkan kelezatan rasa aslinya.
Sagu atau tapioka tetap menjadi bahan utama yang memberikan tekstur kenyal dan liat pada pempek.
Pempek tidak akan lengkap tanpa pasangannya, yaitu kuah cuko. Kuah berwarna hitam pekat ini adalah perpaduan rasa yang kompleks: manis dari gula merah (biasanya gula batok khas Palembang), asam dari cuka, pedas dari cabai rawit, serta asin dari garam dan gurih dari bawang putih.
Cuko bukan hanya berfungsi sebagai saus, melainkan juga berperan sebagai pengawet alami untuk pempek. Kombinasi rasa kenyal gurih pempek yang berpadu dengan cuko yang tajam dan menyegarkan inilah yang menjadi ciri khas tak tertandingi dari pempek Palembang.
Kini, pempek telah berevolusi menjadi beragam varian yang menggoda selera, seperti:
Pempek Lenjer: Berbentuk silinder panjang.
Pempek Kapal Selam: Berisi telur utuh atau puyuh.
Pempek Adaan: Berbentuk bulat, adonannya dicampur santan, dan biasanya langsung digoreng tanpa direbus.
Pempek Kulit: Dibuat dari kulit ikan, memberikan cita rasa ikan yang lebih kuat.
Pempek Keriting: Memiliki bentuk keriting yang unik.
Pempek tidak hanya sekadar kuliner, tetapi telah menjadi identitas budaya bagi Kota Palembang. Kelezatan yang bermula dari kelesan sederhana di tepi sungai, kini telah menasional, bahkan mendunia, menjadikannya salah satu warisan kuliner Indonesia yang patut dibanggakan.
Kedai Sari Pempek
Jl. Mawar Perumahan Curug Residence 2 No.B3, Curug, Kec. Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat 16517.
Produksi Sari Pempek
Jl.s parman lr.teratai 1 RT 10/02 no 2596, Sukajaya, Kec. Sukarami, Kota Palembang, Sumatera Selatan 30151.
No Telp : +62 - 857-7500-3701 | Email : kedaisaripempek@gmail.com
Jadwal Toko